Tangerang, 30 Juli 2013.
Pertama kali gua balik lagi kesini. Ke kota kelahiran gua ini.
Gua menganggap semuanya bakalan biasa aja. Gak ada yang special.
Keterpurukan ini selalu bersama gua, dimanapun gua berada.
Tapi saat itu, semuanya berubah. Saat gua ngeliat mata itu.
Saat gua ngeliat raganya yang berbelok ke arah gua.
Saat senyumannya tersambut dimata gua.
Gua gak sadar akan tatapan itu. Gua hampir tertipu.
Kemudian hari, gua mulai memimpikan senyuman itu lagi.
Mulai merindukan wajahnya yang samar itu lagi.
Menginginkan raganya yang masih terbayang di benak gua.
Beberapa hari, gua selalu merindukan kehadirannya,
walau cuma melintasiku sejenak. Dengan tatapan singkat selama detik itu berjalan,
bagi gua itu terasa berhenti lama.
Hati ini selalu menyimpan namanya ketika gua hampir mengetahui semua tentangnya. Hampir.
Alika, namanya.
Sedikit gila, gua selalu menantinya setiap hari. Hanya untuk melihat dia melintasi gua sepintas.
beradu tatap satu detik. Bermain rasa dengan riang. Walaupun perasaan itu tak pernah
dan takkan terbalas karena bodohnya gua sebisa mungkin menutupi perasaan nakal ini.
Gua melewati jalan lain. Ada seseorang lagi disana. Gua melihatnya, nampak biasa saja.
Gua melarikan diri dari tempat itu secepat kilat.
Gua mulai menentukan hati. Kembali saja pada yang pertama kali kujatuhi hati.
Saat itu, segala cara kuhalalkan untuk hubungan yang takkan pasti ini,
sedekat mungkin gua berusaha untuk bisa lebih dekat dengan Alika.
Walau memang gua dan dia saling mengenal, tetap ada yang gua inginkan; perakraban lamat.
Gua meminta nomor teleponnya. Alika memberikannya. Betapa senang hati gua.
Gua bahagia, tapi bahagia itu sedikit sirna, ketika dia selalu meminta segala sedemikian rupa padaku.
Dan gua selalu mengiyakannya, karna kupikir, itu yang terbaik untuk hubungan biasa ini.
Gua bertemu lagi dengan orang satunya lagi. Yang ini berbeda. Dia tersenyum penuh keindahan
dari mata dan bibirnya. Saat itu, gua bahagia, karna masih ada harapan pada orang yang baik hati.
Gua percaya itu. Velita, namanya.
Tapi beberapa hari kemudian, Velika, si manusia dengan harapan baru itu mulai
tak terlihat lagi batang hidungnya. Gua merindukan wajah itu. Membuat gua harus kembali lagi
pada si manusia pertama yang kali kulihat lagi, Alika. Gua gak tau harus berbuat apa.
Beberapa bulan gua tak bertukar kabar lagi dengan Alika.
Ia juga udah mulai tak meminta apa-apa lagi padaku.
Gua membingungkan hal ini. Seketika itu, gua berpikir, mungkin dia sudah tak membutuhkanku lagi.
Malam, pukul sepuluh. Gua mendapat SMS dari Alika.
Hati gua kembali tergugah gembira, SMS dari orang yang kusayang akhirnya tersampaikan.
Dia meminta tolong lagi. Dan gua mengiyakannya lagi. Gua dengan seribu kebodohan gua itu
mulai kambuh lagi. Ku iyakan lagi.
Gua pikir itu SMS terakhir dari Alika. Setelah berbulan-bulan lamanya,
Dia sudah lama tak datang-datang dengan sejuta kematrealistisnya.
Gua bingung, mungkin dia bukan buat gua. Sedih.
Sedemikan rupa, sosok Velita, si manusia kedua dengan harapan yang selalu tersenyum padaku
itu mulai kembali. Dia mulai terlihat lagi. Gua sangat senang bukan main.
Gua sangat terkagum-kagum atas sikap sopan santun dan kebaikan hatinya.
berbeda jauh dengan Alika. Yang satu ini nampak membuatku lebih nyaman.
Seketika gua dan teman gua sedang hang-out bersama. Seketika itu gua membicarakan Alika,
si manusia pertama kali kulihat itu. Gua bertanya pada sahabat;
"Apa Alika memiliki kekasih?. Mengapa tak pernah kulihat wajah kekasihnya itu?"
Tuhan Maha Besar, ia mengijinkanku untuk melihatnya dnegan lelaki lain disana dengan mesra.
Gua bersedih. Sahabat-sahabat terdiam bersamaku. Manusia yang kucinta diam-diam itu
memiliki kekasih lain. Gua sedih. Sakit hati.
Gua berniat pulang di malam minggu kelabu itu. Dengan menerima kenyataan memahitkan.
Seketika kucoba untuk memotret sesuatu dengan sebuah kamera digital. Tak kusangka,
kartu memori dari kamera itu terkunci dan tidak bisa kugunakan.
Gua bingung. Bingung seperti orang bodoh. Gua dan sahabat berusaha mencari segala solusi.
Tetap tak terkendali.
Situasi kali ini sangat kacau galau. Apes. Kesal.
Sudha melihatnya dengan laki-laki lain, kali ini harus
menghadapi kekesalan pada kartu memori ini.
Gua dan sahabat berusaha mencari solusinya lagi.
Gua harus mencari internet, agar bisa tahu, apa penyebab terkuncinya kartu memori ini.
Ini sudah larut malam, tidak ada warung internet yang buka. Semuanya tutup.
Tidak ada warung internet yang buka 24 jam, tidak seperti di kotaku sebelumnya, Gorontalo.
Gua gak menyerah. Kucari lagi solusinya.
Ah, otakku tertuju pada warung internet yang jaraknya beberapa dari kompleks rumah yang tak pernah kusentuhi.
Masuk pun kutak mau. Jorok. Tapi gua segera melumpuhkan pikiran itu.
Berlari sekencang mungkin bersama sahabatku pada warung internet itu.
Gua bertanya pada penjaga warnet; "Ada yang kosong??"
Kumelihat sekeliling, dan seseorang wanita cantik menjawab; "Banyak!" Penuh senyuman lagi.
Orang kedua yang kulihat pertama kali dengan senyuman menawannya, Velita.