Rabu, 09 Juli 2014

Diam Diam Cinta

    Tiga tahun. Tiga tahun penantian ini. Tiga tahun menunggunya secara diam-diam ini masih menjadi favoritku.
Begitu juga dengan dia. Dia selalu menjadi favorit dari sekian banyaknya favoritku. Dialah alasanku menunggu. Dialah alasanku terdiam dengan keterpukauan hati ini padanya.
Dialah salah satu alasanku kenapa aku betah tinggal dan mengontrak sebuah rumah di perumahan milik Kota Depok ini.
Salah satu kota berkembang yang menurutku tiada duanya. The Great City.

Dia adalah seorang yang kupuja selama bertahun-tahun lamanya. Dia adalah tetanggaku. Pria yang selalu kusambut dengan senyuman. Pria yang selalu kulihat wajahnya namun tetap samar.
Pria yang kubayangkan dalam tidurku yang membuat gulingku menjadi korban dalam pelukan khayalanku dalam terpejam. Pria yang kucinta ini berbeda satu tahun denganku. Dia lebih tua dariku.
Aku senang, saat pertama kali datang dan pindah ke perumahan ini. Dengan tatapan yang sangar. Hati yang membeku. Bibir yang cemberut. Kuharus belajar mandiri sejak menduduki bangku dua SMA.

Aku pindahan dari Tangerang, kotaku. Menuju Depok, aku dititipkan sebuah rumah oleh Ayahku. Ayahku yang selalu sibuk. Tak pernah ada waktu untuk menemaniku.
Dia selalu asik dengan hobinya yang aneh, pulang pergi ke luar kota. Dinas disana. Aku tak tahu apakah pekerjaan terlalu penting untukku sampai harus mengorbankan tanggung jawab Ayah di rumah.
Aku kesepian. Terlebih saat ia memutuskan untuk menempatkanku di Depok. Aneh rasanya. Ayah tak mempunyai waktu senggang lagi untuk bersama. Pekerjaannya adalah anak emasnya menurutku.

Aku mengontrak sebuah rumah di perumahan cempaka di sudut Kota Depok. Memandang jenuh pada tiap-tiap rumah yang kuperhatikan satu persatu. Perumahan yang tergolong sepi. Tak pernah ramai kecuali ada satu acara keluarga yang berkumpul.
Aku suka membayangkan perkumpulan yang ramai dirumahku. Keluarga lengkap. Penuh kebahagiaan bersama. Tapi mimpi sederhana itu tak akan pernah ada untukku. Bagai mengharap orang mati hidup kembali. Ibuku.
Merindukannya bagai senyuman pahit dihidupku. Merindukan gelak tawanya dua tahun lalu. Merindukan pelukan hangatnya dini dulu. Mengingat kasih sayangnya sebelum sakitnya menggerogoti hatinya.

    Saat ini aku hanya bisa merenungkan rumah baruku. Rumah yang nasibnya serupa denganku. Sepi. Sedih. Sunyi. Diam. Bisu. Hening.
Kala ku keluar untuk mendinginkan badan sejenak lewat angin malam. Seseorang melintasiku dengan sepeda motornya yang berbunyi berisik. Dia tak mengenakan helm.
Hanya jaket hitam dan celana jeansnya yang terlihat. Rambutnya gondrong seleher. Poni tebalnya nampak mencuci mata. Aku terpukau oleh pemandangan indah yang terjadi dua detik itu.
Singkat wajahnya langsung tersimpan di otakku. Dari otak, turun ke Hati. Kusimpan baik-baik wajahnya. Kuberikan sebuah bingkai paling spesial dihati ini.
Dia tidak sempat melihatku. Kuikuti saja kemana arahnya berjalan. Rumahnya disini. Lima rumah dari rumahku. Rumah itu terlihat biasa saja, tapi yang menempatinya sangat luar biasa.
Diam-diam, aku mengintipnya lamat-lamat, dia sedang memasukkan sepeda motornya ke dalam rumahnya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Dia menutup pintu pagarnya. Sedih.

Tapi tak mengapa, toh, aku sudah tahu dimana letak rumahnya. Seru deru hati ini berguncang lebih cepat dari biasanya. Cinta itu datang. Jauh-jauh ke Kota, kudapatkan Mahkotaku yang sesungguhnya.
Cahayaku yang baru saja menyala silau. Matahariku yang barusaja datang menerbitkan terang. Aku tersenyum gereget. Emosiku campur aduk dengan kegiranganku kali ini.
Lepas landas sudah masalahku yang kupikirkan. Ada seseorang yang nampaknya akan membuatku betah disini. Dia. Laki-laki yang barusaja kulihat.

Malam ini kuberusaha memejamkan mata. Meredupkan cahaya. Memutar alunan musik melankolista. Tapi apa yang kudapat?
Ritual yang selalu kulakukan saat hendak ingin tidur itu tak bekerja. Aku tak bisa tidur. Insomnia lebih tepatnya.
Sekarang sudah pukul dua belas lewat tengah malam. Hatiku masih berguncang. Mengeram hebat. Bibirku tersenyum gemas. Kalah yang biasanya.
Gara-gara dia aku tidak bisa tidur. Dialah penyebab dari semua kekacauan tidur nyenyakku ini. Sebal.

    Sekarang aku sudah resmi menjadi mahasiswa di Unviersitas Indonesia, Depok. Sudah seminggu kudisini dan mengenal berbagai macam karakter yang berbeda.
Sudah seminggu juga, aku sibuk mengerjakan tugas-tugas dari Dosen. Dan, sudah seminggu juga aku merindukan dia. Sudah seminggu ini, batang hidungnya tak terlihat.
Remang cahaya matanya tak terkucap. Suara motornya tak terdengar. Aku bingung, kemana dia pergi?

Aku mencoba keluar sejenak, menenangkan pikiran, dengan sepasang kabel mini headset menempel di telingaku. Kupasang musik paling indah sedunia, Cinta takkan kemana-mana milik Petra.
Aku sedang menyukai lagu ini. Berulang kali terus kuputar. Berulang kali memainkan lagunya. Sembari berharap yang kutunggu kan kunjung datang.
Menerka-nerka gemilau cahaya matanya yang sipit.

Sampai ku membelokkan kepalaku ke samping kanan, ku bertemu sang ksatria itu. Pangeran yang membawa sepeda motornya. Pangeran cinta dengan mahkota menawan.
Dia melintasiku lagi. Kali ini dia melihatku, tapi tak tersenyum. Beberapa singkat ku senyumi dirinya, dia hanya kembali mengendalikan motornya.
Tak membalas senyumanku. Tak menggubris ekspresi hatiku yang bahagia saat melihatnya.

    Aku tak menyerah, menunggunya hingga kini. Berusaha membuatnya menyadari akan kehadiranku selama enam bulan ini.
Tak melakukan apa-apa. Setiap hari hanya menunggunya. Menantinya. Kucari tahu segala sesuatunya lewat tetangga.
Bakti, namanya. Bekerja di salah satu pabrik makanan ringan ternama. Aku gembira setelah mengetahui beberapa hal dalam hidupnya.
Setiap hari aku berusaha keluar rumah saat bersamaan dengan waktunya berangkat kerja. Aku melihatnya. Gembira bukan main.

Aku berpikir dalam hati. Lamat sekali. Berusaha membuat suatu usaha yang mungkin sedikit bodoh. Aku bingung. Usaha apa yang tepat untuk membuatnya melihatku.
Jangan untuk sebagai kekasih, deh. Jadi temannya pun, aku sudah bersyukur sekali. Aaaahh... satu ide paling cemerlang menempel diotakku.
Aku segera berlari ke dapur. Memasak sebuah masakan paling istimewa yang seringkali kupelajari dari almarhumah Ibuku.
Memasak opor ayam paling enak sejagad turun temurun keluargaku. Kata Ibuku, aku sangat cerdas dalam bidang masak memasak.

Taraaaa.. Opor ayamnya sudah selesai. Kutaruh ditempat tupperware istimewa, berwarna merah muda. Kelihatan lucu. Melambangkan perasaanku padanya.
Memejamkan mata geregetan sejenak. Berharap mendapat respon positif darinya. Atau bahkan mungkin, membuatnya mengetahui akan perasaanku yang sebenarnya terhadapnya.
Dengan menghirup napas sejenak, aku berjalan dengan biasa. Menuju rumahnya beberapa rumah darisini.
Tak kusangka, orangnya berada di teras rumahnya, sedang mencuci motornya. Aku tak menyangka. Dadaku bergetar kuat sekali. Aku takut. Aku gugup.
  "Permisi..." Kataku dengan senyuman paling menawan yang kuciptakan.
Dia menoleh. Dia menoleh kepadaku. Ya Tuhaaaaaaannn... ini pertama kalinya aku bertatap muka dengannya. Empat bulan lamanya kuterdiam merindukannya. Baru kali ini aku melihat parasnya lengkap mempesona.
  "Iya.." Dia tersenyum. Dia tersenyum kepadaku. Ya Tuhaaaan... jangan lagi... aku malu dibuatnya. Salah tingkah. Kegatelan. Dia membukakanku pintu. Ya Tuhan, aku layaknya Tuan Putri saat ini.
  "Ini, ada sedikit buat kamu!" Kataku. Sambil memejamkan mata. Geregetan. Aku memberikan tempat makan itu padanya.
  "Apa ini??" Matanya menatapku dengan gigi yang menyengir lucu.
  "Opor Ayam!" Kataku. Senyuman indah masih terpampang nyata diwajahku.
  "Waah.. makasih banyak, yah.." Katanya.
  Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
  "Kamu tetangga baru itu, ya??" Tanyanya.
  "Iyah..."
  "Namaku Bakti!" Dia mengangkat tangan, memintaku untuk menjabatnya.
  Aku menjabat tangannya. "Nina!" Walau ku sudah mengetahui namanya, aku tetap memanfaatkan situasi ini. Tangannya menempel di tanganku tak kulepaskan. Tapi dia melepaskannya.
  "Mau masuk??" Dia menawariku untuk masuk ke dalam rumahnya. Satu moment yang tak boleh diewatkan.
  "Mau!!" AKu memasang wajah paling bodohku saat itu. Dasar bodoh. Tuhan, aku malu.
  Dia hanya tersenyum, memperlihatkan giginya yang amat putih seputih wajahnya. "Ayo silahkan masuk" Ajaknya.

Aku masuk ke dalam rumahnya. Duduk diteras dengan secangkir coklat panas buatannya. Sangat membuatku ingin memeluknya.
Badannya yang tak terlalu berisi itu sepertinya bisa sedikit menghangatkanku. Aku memperhatikannya. Kita bercerita. Terus bercerita.
Ada perasaan nyaman aku dengannya. Itu Cinta. Itu cinta yang kutunggu. Bodohnya aku, kenapa tidak dari dulu begini. Ah, tapi tak apa, toh sekarang aku sedang bersamanya.

Lama kelamaan, dia terlalu sering bersamaku. Sesekali mengantarku ke kampus. Nonton. Hang-out bersamanya. Aku sangat senang sekali bisa menjadi seakrab ini dengannya.
Tapi aku tak mungkin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Aku ini wanita, tak mungkin aku menyatakannya lebih dulu. Walaupun aku sangat ingin sekali menjadi kekasihnya.
Menjadi seorang yang disandang statusnya. Menjadi bagian paling penting dalam hidupnya. Tapi setelah kupikirkan genderku ini apa, sangatlah tak mungkin untuk bisa menyatakannya begitu saja.
Aku bukan lelaki yang bisa main bicara begitu saja pada lawan jenisnya. Aku hanya wanita yang hanya bisa mencintainya dalam diam. Walau sudah tiga tahun ini aku selalu bisa memandangnya lebih dekat.
Mengenalnya lebih dekat. Tapi sampai kinipun, aku juga belum mengetahui apa yang sebenarnya perasaan yang dia rasakan padaku. Aku bingung harus bagaimana. Sudahlah. Yang penting, aku sudah bisa masuk ke dalam hidupnya.
Menjadi yang paling pertama, hadir dan menemani suka dukanya. Sahabat, aku mencintaimu.

    Dia jatuh sakit. Kutahu berita itu via BBM. Akupun beranjak dari sofa milik di ruang TV-ku. Ada laptop di meja, menganga terbuka. Tempatku menuliskan semua isi hatiku di laptop ini.
Saat aku hendak berdiri menghampiri pintu. Tiba-tiba pintu berdetak dengan sendirinya. Ada yang mengetuknya. Siapa itu kutak tahu. Aku segera membukanya. Dia. Dia yang mengetuk pintu ini.
Dengan wajah yang pucat pasi. Mata yang bengkak dan suhu tubuh yang tak biasanya.
  "Astaga, Bakti.. Aku baru mau kesana.. Kamu ngapain kesini??" Tanyaku.
  Orang yang selama tiga tahun kukagumi itu tak menjawab. Dia terlihat letih sekali.
  "Yaudah masuk dulu yuk!" Aku tak menunggu jawabannya, segeralah aku menopang badannya yang letih dan dengan hebat bisa kesini saat kondisi buruk melandanya malam ini.

Kubaringkan dia di sofa yang kusinggahi tadi. Ku ambilkan selimut tebal nan lembut dari kamarku. Ku pakaikan dengan nyaman selimut itu padanya.
Lalu, aku menuju dapur untuk membuatkannya segelas teh manis hangat untuk meredamkan demamnya. Kugunakan cangkir paling indah untuk menyambutnya.
Astaga! Aku tersadar. Pikiranku kacau. Mati ini. Aku kebingungan bukan main, kala teringat kepala laptop yang masih terbuka, dengan data yang masih menganga.
Aku takut. Gawat. Aku segera terbirit menuju ruang depan lagi dengan segelas air teh hangat ini.

Aku terlambat. Dia yang terbaring tadi, kutemui sudah dalam posisi duduk dan asik membaca. Dengan serius dia membaca.
Aku terbujur kaku di belakangnya. Aku malu bukan main. Aku resah. Aku gelisah. Aku takut.
Dia menoleh ke arahku. Ekspresinya canggung saat mengetahui aku berdiri dibelakangnya.
  "Maaf, Nin.. Aku gak sengaja.." Katanya, canggung. Ekspresinya tak biasa kulihat dan kurasakan. Dia bernada aneh.
  Aku duduk disebelahnya, menaruh teh manis hangat itu di meja dekat laptop sialan itu. "Nggak apa-apa, Bakti.."
  Tiga detik kami berdiaman. Dia berbicara, "Jadi benar kamu suka sama aku??"
  Aku menoleh, mengangguk malu-malu. "Cinta lebih tepatnya."
  Dia tersenyum. Lama kelamaan senyuman itu melebar dengan sendirinya. "Aku juga cinta sama kamu, loh.." Katanya.

Ya Tuhan, apa yang barusan kudengar? Apa ini sekadar lelucon? Apa ini hanya jenaka saja? Apa telingaku yang salah mendengar.
Aku terkesiap bukan main. Dengan perasaan yang masih tak menyangka, kubertanya, "Kamu yakin?"
Awalnya dia terdiam, setelahnya dia tersenyum dan mengangguk polos.

Aku pun tersenyum dan berdiam lamat, seketika memandangi sekali lagi wajahnya yang pucat karna sakit.
Dia juga terdiam. Kami berdua masih berdiaman lamat.
  "Selama tiga tahun ini, kamu menungguku??" Dia membuka suara dengan pertanyaan.
  Seperti biasa, aku tersenyum dan mengangguk dibuatnya.
  "Aku juga! Menunggumu selama tiga tahun ini. Tak berani mengungkapkannya padamu!" Katanya.
  Aku hanya memejamkan mata. Geregetan lagi. Kegatelan. Tak tahu harus berbuat apa saat-saat seperti ini.
  "Kamu mau??"
  "Mau apa?" Tanyaku, bingung.
  "Mau jadi kekasihku??"

Astaga Tuhaaan... dia menyatakan cintanya padaku. Apa yang harus kulakukan.
Aku bingun setengah mati. Lama sekali kuberbicara. Menjawab ya atau tidak. Mengangguk atau menggeleng.
  "Maaf, Bakti.. Aku gak bisa..." Kataku dengan nada pasrah dan penuh penyesalan yang kukatakan padanya.
  Bakti terkesiap, mendadak sehat sepertinya. "Loh, kenapa??"

  "Aku lebih suka menunggumu lebih lama dibanding harus memilikimu. Aku lebih suka menikmati perasaan ini. Perasaan yang tak pernah kau tahu. Jadi lebih baik, kita begini saja, ya... berteman lebih baik. Diam-diam cinta, lebih kusuka. Walau sekaran kau sudah mengetahui perasaanku terhadapmu, Bakti!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar